Arogansi Raja - raja Kecil Dalam Singgasana Rakyat
M Ilyas, kabarrilis.com - Kabupaten Bogor | Kekuasaan yang tidak murah untuk didapat, diduga menjadikan salah satu alasan yang mendorong, terjadinya seseorang menunjukan keangkuhannya bahkan cenderung arogan.
Arogansi yang ditunjukkan penguasa lokal (raja kecil), seolah-olah hanya Dia lah satu-satunya yang pantas duduk di singgasana dengan kekuasaan mutlak.
Padahal kekuasaan yang telah diraihnya memiliki hak dan kewajiban, yang harus ditunjukan kepada rakyat melalui aneka program pembangunan pisik dan non - pisik.
Karena rakyatlah pemilik mandat yang sesungguhnya sementara raja kecil (Kepala Desa / Kades) hanya sebagai mandataris yang berkewajiban untuk menjalankan semua program-program nya, berdasarkan usulan-usulan serta mempertanggungjawabkannya putusan yang diberikan kepadanya.
Salah satu tugasnya Kades mengelola Keuangan Desa dan bertanggung jawab atas anggaran yang bersumber dari DD (Dana Desa), Alokasi Dana Desa (ADD), dan sumber pendapatan lainnya.
Setelah itu melakukan penyusunan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan secara transparan kepada masyarakat kepada Pemerintah Daerah (Pemda).
Dengan dasar transparansi itu lah dalam pelaporan untuk penggunaan keuangan nya dibutuhkan kontrol yang seimbang oleh semua pihak, termasuk peran dari jurnalis didalamnya.
Semua ketentuannya termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024, atas perubahan kedua dari UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Namun sangat disayangkan tugas dari jurnalist terhambat dan menemui jalan buntu, ketika menemui Kades Cibitung Wetan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Muhammad Kamaluddin.
"Kita sudah datang kesini dengan itikad baik, sesuai dengan etika dan kaidah jurnalistik, pas datang kesini ada tamu, salaman lalu kita tungguin diluar karena kita tidak mau mengganggu," ungkap H. Deden wartawan FBI, Rabu 06 November 2024.
Namun setelah kita tunggu sekian lama, Deden melanjutkan, tamunya itu sudah pulang akan tetapi Kades sudah tidak ada ditempat yang semula.
"Saya pikir akan dipanggil setelah tamu nya pulang, eeh ternyata Dia nya sudah pergi entah kemana, artinya Pak Kades secara arogan tidak menghargai kami sebagai wartawan.
Kehadiran kami disini secara baik-baik, kami hanya ingin melakukan tugas kami saja sebagai wartawan, sesuai dengan kaidah jurnalistik," ujarnya.
Kejadian yang hampir sama persis juga diduga dilakukan oleh Kades Purwabati Tajuddin Arifin, dengan tidak merespon panggilan dan pesan dari wartawan.
"Ketika di telepon tidak diangkat, di chat tidak dibalas, sekalinya dibales sedang berada diluar, ke Kantor nya pun kita tidak pernah ketemu," ujar Deden.
Hal lain yang tidak kalah ekstrim arogan diduga dilakukan oleh Kades Cimayang Muslihat Dianah di Kantornya, Selasa 22 Oktober 2024.
"Kalau mau balik mah balik aja silahkan, kesininya juga kan tidak kami undang," ungkap Muslihat Dianah kepada Wendi salah satu media Online.
Menanggapi hal tersebut, selaku Camat Pamijahan Wawan Suryana., S.Sos., dalam keterangan menyatakan kesiapannya untuk mengevaluasi agar semuanya berjalan dengan regulasi.
"Kebetulan saya pernah menjabat di Kominfo, terkait hal tersebut mungkin saja terjadi karena kebelum fahaman, jadi nanti kita coba mengadakan acara jurnalistik di Kecamatan Pamijahan," ungkapnya di Kantor Desa Cimayang.
Mengutip pernyataan dari Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Ari Ganjar Herdiansah yang disampaikan melalui https://nasional-tempo-co pada 18 April 2024, bahwa disebagian daerah, iklim demokrasi masih belum mengalami kemajuan.
Hal itu menurutnya ditengarai kepala daerah yang menjalankan kepemimpinannya dengan gaya feodal, merasa bahwa wilayah dan pengelolaan pemerintahan sebagai kepemilikan pribadi.
“Ada kaitannya dengan faktor sejarah reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan desentralisasi. Ironisnya, hal ini justru melahirkan 'raja-raja kecil' di mana orang-orang kuat daerah atau local strongman bisa menguasai struktur politik melalui pemilu.
Konsekuensi dari kepemimpinan politik yang feodal adalah otoritarianisme, anti-kritik, dan menggunakan hukum sebagai instrumen kekuasaan,” kata Ari kepada Tempo.co pada Selasa, 18 April 2023.
Ari menyebutkan Pemerintahan yang dikelola dengan gaya “raja-raja kecil” ini seringkali mengandalkan cara kekerasan untuk pengendalian sosial, seperti intimidasi kepada rakyatnya yang kritis.
Padahal, menurut Ari, dalam iklim demokrasi setiap orang berhak secara bebas menyampaikan pendapatnya untuk kepentingan publik.
Post a Comment