Artikel
Wajah Palsu, Ancaman Nyata: Membedah Perlindungan Hukum Deepfake di Indonesia vs. Tiongkok
Kabarrilis.com - Pernahkah Anda melihat video Presiden Jokowi bernyanyi lagu pop Korea, atau Elon Musk mempromosikan investasi bodong dalam bahasa Indonesia yang fasih? Jika iya, Anda telah berkenalan dengan Deepfake.
Teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) ini mampu menukar wajah dan suara seseorang dengan hiper-realistis. Awalnya mungkin lucu, namun kini Deepfake bermutasi menjadi mimpi buruk hukum: mulai dari penipuan, pencemaran nama baik, hingga pornografi non-konsensual.
Pertanyaannya, ketika teknologi berlari secepat kilat, apakah hukum kita sudah siap mengejarnya? Mari kita bandingkan pendekatan Indonesia dengan Tiongkok, salah satu negara dengan regulasi AI terketat di dunia.
1.Indonesia: "Senjata Lama" untuk Ancaman Baru
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki undang-undang spesifik yang berjudul "UU Anti-Deepfake". Namun, bukan berarti kita mengalami kekosongan hukum. Indonesia menggunakan pendekatan ekstensifikasi hukum yang ada, yaitu menggunakan pasal-pasal dalam undang-undang eksisting untuk menjerat pelaku Deepfake.
Berikut adalah "senjata" hukum yang digunakan Indonesia:
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik):
Ini adalah senjata utama. Pasal 35 secara khusus melarang manipulasi, penciptaan, atau perubahan Dokumen Elektronik seolah-olah data tersebut otentik. Jika seseorang membuat video Deepfake untuk menipu (seolah-olah asli), pasal ini bisa menjeratnya.
Selain itu, jika Deepfake bermuatan asusila atau pencemaran nama baik, Pasal 27 siap menanti.
UU PDP (Perlindungan Data Pribadi): Wajah dan suara adalah data biometrik yang tergolong Data Pribadi Spesifik. Menggunakan wajah orang lain untuk Deepfake tanpa izin adalah pelanggaran serius terhadap pemrosesan data pribadi.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana):
Untuk kasus penipuan konvensional yang menggunakan sarana Deepfake, pasal penipuan dan pemalsuan dalam KUHP tetap berlaku.
Catatan Kritis: Pendekatan Indonesia cenderung reaktif dan punitif. Hukum bekerja setelah ada korban atau setelah konten menyebar dan merugikan. Belum ada aturan teknis yang mewajibkan platform melabeli konten AI.
2.Tiongkok: Regulasi Spesifik dan Preventif
Berbeda dengan Indonesia, Tiongkok memilih langkah agresif dengan menerbitkan aturan spesifik yang menargetkan teknologi "Deep Synthesis" (sintesis mendalam). Aturan ini dikenal sebagai Administrative Provisions on Deep Synthesis for Internet Information Services yang berlaku sejak Januari 2023.
Apa bedanya dengan Indonesia?
Wajib Labeling (Watermark):
Hukum Tiongkok mewajibkan penyedia layanan dan pengguna untuk memberi tanda/label yang jelas pada konten hasil AI. Jika Anda membuat video Deepfake, harus ada keterangan bahwa "Ini buatan AI". Jika tidak, itu ilegal.
Tanggung Jawab Platform:
Platform media sosial di Tiongkok wajib memiliki fitur teknis untuk mendeteksi dan melabeli konten Deepfake. Jika kecolongan, platformnya yang kena sanksi.
Persetujuan Eksplisit:
Mengedit wajah atau suara orang lain tanpa persetujuan tertulis dilarang keras, terutama jika digunakan untuk berita palsu atau merusak tatanan sosial.
Catatan Kritis: Pendekatan Tiongkok sangat preventif. Mereka berusaha mencegah kebingungan publik sebelum konten tersebut viral dengan mewajibkan transparansi (labeling).
Apa yang Bisa Indonesia Pelajari?
Studi perbandingan ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mengandalkan interpretasi hukum lama untuk fenomena baru. Meskipun pelaku Deepfake di Indonesia bisa dipenjara, pembuktiannya seringkali rumit, terutama dalam hal forensik digital.
Indonesia perlu mempertimbangkan langkah Tiongkok dalam hal Transparansi Algoritma. Mungkin tidak perlu se-ketat Tiongkok, namun mewajibkan watermark atau label "Generated by AI" pada konten manipulasi visual sangatlah krusial untuk melindungi masyarakat dari hoaks menjelang tahun-tahun politik atau modus penipuan canggih.
Via
Artikel

Post a Comment